Selasa, 15 Oktober 2013

Pengertian Syariah



SYARIAH

A.    Pengertian Syariah

Secara etimologis (bahasa), syariah atau syariat berarti jalan lurus, jalan menuju air, jalan yang dilalui air terjun. Adapun menurut terminologis (istilah), syariah ialah hukum Islam yang diyakini kebenarannya oleh umat Islam sebagai ketentuan dan ketetapan dari Allah yang wajib dipatuhi sebagaimana mestinya. Hal ini difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an:

Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) di atas suatu syariat dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (Q.S. Al-Jaatsiyah: 18)

Peraturan-peraturan Allah yang terkandung dalam syariat Islam mengandung disiplin yang menuntun manusia dalam menuju kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat. Manusia diperintahkan untuk mempercayai dan meyakini kebenaran serta keagungan hukum ciptaan Allah yang tidak ada lagi hukum yang melebihi dan mengungguli kesempurnaannya. Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an:
  
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (Q.S. Al-Maaidah: 50)

Berdasarkan prinsip keyakinan tersebut, maka setiap muslim wajib melaksanakan syariat Islam dalam segala aspek kehidupannya dan sebaliknya dia merasa berdosa apabila mengabaikan nilai-nilai syariat tersebut. Adapun Garis-garis Besar Syariat Islam (GBSI) adalah sebagai berikut:
1.      Hukum Ibadat, yang merupakan tuntunan ritual yang mencakup masalah taharah (kebersihan jasmani), salat, zakat, puasa, haji, penguburan jenazah, kurban, ‘akikah, penyembelihan hewan (dzabihah), makanan (ath’imah), minuman (asyribah) dan lain-lain.
2.      Hukum Munakahat, yaitu himpunan hukum yang mengatur masalah kehidupan rumah tangga. Termasuk di dalamnya pembahasan pernikahan, hubungan suami-istri, talak, rujuk, iddah, perwalian dalam nikah, pembagian harta pusaka, penyusuan, pemeliharaan anak, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah rumah tangga.
3.      Hukum Muamalat, yaitu membahas kode etik bisnis, utang-piutang, jual-beli dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah hubungan manusia dengan kekayaan dan harta benda. Termasuk mengatur hubungan kekayaan masyarakat dengan negara yang meliputi masalah Baitul Mal dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya.
4.      Hukum Jinayat, yaitu hukum pidana dan perdata yang disyariatkan untuk memelihara kehidupan manusia, melindungi ketenteraman masyarakat, melindungi harta benda yang menjadi hak seseorang, memelihara keturunan, akal jiwa dan agama. Hubungan ini meliputi masalah qishas, tazir, perampokan dan sebagainya.
5.      Hukum Murafa’at Mukhashamat, yaitu hukum acara pidana dan perdata yang mencakup prosedur pengadilan di depan hakim antara lain: syarat-syarat hakim, dakwaan, gugatan, pembuktian, persaksian, sumpah dan lain-lain.
6.      Hukum Sulthaniyat, yaitu suatu komponen hukum Islam yang khusus mengatur masalah-masalah kenegaraan dan pemerintahan.
7.      Hukum Dauliyat, yaitu hukum internasional yang berguna untuk mengatur hubungan antara negara dengan negara, baik pada masa damai maupun pada masa perang, mengatur soal tawanan perang, gencatan senjata, suaka politik dan perjanjian antar negara.
Berdasarkan pembagian lapangan pembahasan syariat tersebut, syariat Islam tampak sangat komprehensif, dimulai dari mengatur hidup pribadi sampai hidup bermasyarakat juga berskala regional, nasional maupun internasional yang meliputi hubungan vertikal, yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhannya/Allah (Hablumminallaah) dan hubungan horizontal yaitu hubungan antar sesama manusia lainnya (Hablumminannaas).

B.     Asas-asas Syariat Islam Dalam Menetapkan Hukum

Asas-asas syariat Islam dalam menetapkan hukum, dapat disimpulkan sebagaimana tertera di bawah ini:
1.      Tidak menyempitkan para mukalaf (orang akil balig yang telah dibebani hukum), sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

Dan sekali-kali tidaklah Allah menjadikan suatu kesempitan padamu dalam beragama. (Q.S. Al-Hajj: 78)

Dan dalam surat serta ayat yang lain, Allah Swt. berfirman:

Allah berkehendak memberikan kemudahan kepadamu dan la tidak menghendaki kesukaran kepadamu. (Q.S. Al-Baqarah: 185)

Kedua ayat tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.:

Sesungguhnya agama itu adalah mudah. (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah)

2.      Tidak memberatkan; yakni dalam menetapkan hukum senantiasa sesuai dengan kesanggupan manusia untuk melaksanakannya.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya. (Q.S. Al-Baqarah: 286).
  
Rasulullah Saw. bersabda:
  
Apa-apa yang telah kularang kepadamu tentang sesuatu, maka, jauhilah dan apa-apa yang telah kuperintahkan kepadamu tentang sesuatu itu. maka kerjakanlah olehmu menurut kadur kesanggupanmu. (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Para sarjana hukum Islam (Fuqaha) telah mengadakan penelitian dan menemukan jawaban bahwa dalam menetapkan hukum syariat Islam dapat terjangkau oleh setiap manusia (mukalaf) dalam situasi dan kondisi bagaimanapun.
Hasil-hasil penelitian mereka itu dapat penulis ungkapkan berikut ini:
a.       Menggugurkan ibadah jika ada halangan. Misalnya tidak wajib melakukan ibadah haji apabila keamanannya tidak terjamin.
b.      Mengurangi kadar amalan ibadah yang telah ditetapkan. Misalnya mengqasar salat bagi orang yang bepergian setelah memenuhi syarat-syarat tertentu. dari empat rakaat menjadi dua rakaat.
c.       Mengganti sesuatu ibadah yang tidak mungkin dilaksanakan, dengan bentuk yang lain. Misalnya wudu diganti dengan tayamum.
d.      Memajukan atau memundurkan waktu yang telah ditetapkan. Misalnya salat jama Taqdim dan jama Ta’khir.
e.       Memberikan kesempatan untuk melakukan ibadah pada waktu lain. Misalnya puasa Ramadhan yang dilaksanakan bukan pada bulan Ramadhan bagi yang sakit atau musafir.
f.       Mengubah sifat atau kaifiyat mengerjakan suatu ibadah. Misalnya salat Khauf yaitu salat yang dikerjakan dalam keadaan tidak aman atau dalam keadaan bahaya.
Untuk memperjelas salat Khauf, penulis uraikan berikut ini:
  1. Musuh berada di arah kiblat.
Jika musuh berada di arah kiblat, imam mengatur pasukannya yang akan mendirikan salat menjadi dua saf. Imam bertakbiratul ihram dan diikuti oleh makmum. Setelah membaca bacaan yang harus dibaca dalam salat itu, imam ruku dan diikuti oleh makmum. Jika imam sujud, maka makmum pada saf kedua tetap berdiri untuk menjaga bahaya. Setelah selesai dua sujud, imam dan makmum pada saf pertama bangkit (berdiri) untuk mengerjakan rakaat kedua, barulah makmum pada saf kedua sujud dua kali tanpa mengikuti imam sampai bangkit (berdiri). Pada waktu itu saf pertama mundur menjadi saf kedua dan saf kedua maju menjadi saf pertama. Imam membaca bacaan salat yang harus dibaca kemudian ruku, diikuti oleh seluruh makmum. Imam bangkit dari ruku, dan diikuti oleh seluruh makmum. Imam sujud bersama dengan makmum pada saf pertama, sedang saf kedua tetap berdiri menjaga bahaya. Setelah imam dan saf pertama sujud dua kali hingga duduk untuk tasyahud, barulah makmum pada saf kedua sujud dua kali sampai tasyahud. Imam menanti sampai seluruh jamaah menyelesaikan tasyahud kemudian baru salam bersama-sama dengan seluruh makmum.
Salat Khauf semacam ini pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw. dalam peperangan Ushfan dan cara mengerjakannya sebagaimana keterangan di atas tadi.

2.      Musuh berada di luar arah kiblat.
Jika musuh berada di luar arah kiblat, maka imam membagi makmum menjadi dua saf. Sebagian menjaga musuh dan sebagian yang lain berdiri di belakang imam. Imam lalu mulai salat satu rakaat bersama dengan makmum pada saf yang berdiri di belakangnya. Setelah imam berdiri untuk rakaat kedua, saf yang berada di belakang imam itu menyelesaikan salatnya sendiri sampai salam dengan tidak mengikuti imam. Setelah salam, lalu mereka pergi untuk menjaga musuh. Dan saf penjaga pertama, salat mengikuti imam yang selama itu menanti dengan berdiri. Kemudian imam bersama-sama makmum pada saf itu menyelesaikan salatnya hingga tasyahud akhir. Dikala imam duduk untuk tasyahud akhir, mereka yang baru salat satu rakaat meneruskan salatnya masing-masing untuk rakaat kedua, sedangkan imam duduk tasyahud akhir menunggu mereka selesai, apabila mereka telah selesai membaca tasyahud, imam memberi salam lalu diikuti oleh mereka.
Salat Khauf dengan cara tersebut, telah diatur dan dilakukan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabat beliau di medan perang yang terkenal dengan perang “Dzatur-Riqa” .
Apabila keadaan sudah sangat genting sehingga untuk membagi tentara berbaris-baris itu tidak mungkin lagi dijalankan, karena banyaknya musuh yang menyerangnya atau pertempuran sedang berkobar, atau orang yang berkendaraan tidak dapat turun lagi dari kendaraannya, begitu pula orang yang berjalan kaki sudah tidak dapat berpaling ke kiri atau ke kanan, maka ketika keadaan sudah sedemikian rupa, masing-masing dari balatentara boleh salat sendiri-sendiri menghadap kiblat atau tidak menghadap kiblat, sambil berjalan kaki atau berkendaraan. Singkatnya, boleh salat menurut kemampuan masing-masing karena salat itu tidak boleh ditinggalkan dan melawan musuh untuk membela diripun tidak boleh diabaikan.
g.      Membolehkan sesuatu yang semula dilarang. Misalnya memakan barang haram karena terpaksa.
h.      Memaafkan pelanggaran karena lupa. Misalnya makan atau minum di siang hari pada bulan Ramadhan. Bagian semacam ini dikalangan Fuqaha (Para Sarjana Hukum Islam) terkenal dengan istilah :
TAQLILUT - TAKLIF (mengurangi beban)
i.        Mewujudkan hukum dengan cara berangsur-angsur, dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat. Misalnya hukum minum khamr (minuman keras). Sebagaimana telah dinyatakan oleh Allah dalam Al-Qur’an:

-          Tahap pertama: Tentang larangan minum khamr:

Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, akan tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya”. (Q.S. Al-Baqarah: 219)
-          Tahap kedua:
 
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengerjakan salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (Q.S. An-Nisaa: 43)

-          Tahap terakhir, Allah menegaskan keharamannya:
  
Hai orang-orang beriman, sesungguhnya minuman khamr, berjudi, kurban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan setan. Maka tinggalkanlah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Al-Maaidah: 90).

Penetapan hukum seperti di atas tadi, oleh Fuqaha (Para Sarjana Hukum Islam) diistilahkan dengan:
AT-TADRIJ FIT-TASYRI’ (bertahap dalam menetapkan hukum).

C.    Penilaian Dunia Internasional Terhadap Syariat Islam

Konferensi Perbandingan Hukum Internasional (Comperative International Laws) di Den Haag pada bulan Agustus 1932 telah membahas sejumlah hukum, termasuk hukum Islam. Prof. Lanvier dalam kesempatan itu menyatakan penghargaannya terhadap syariat Islam dan para peserta konferensi menaruh perhatian yang serius tentang syariat Islam dan merasa perlu untuk membahas lebih jauh pada pertemuan yang lain.
Pada bulan Agustus 1937, konferensi itu diteruskan lagi. Dalam pertemuan itu dua orang sarjana Islam masing-masing Prof. Dr. Mahmud Syaltut dan Prof. Dr. Abdurrahman Taj, keduanya berasal dari Universitas Al-Azhar Mesir mengajukan pandangannya, masing-masing dengan judul “Pertanggungjawaban Hukum Pidana dan Sipil dalam Islam “ dan “Hubungan Undang-undang Romawi dengan Syariat Islam“.
Konferensi tersebut memutuskan:
1.      Syariat Islam sebagai salah satu sumber perundang-undangan hukum;
2.      Syariat Islam berdiri sendiri, bukan diambil dari perundang-undangan yang lainnya (maksudnya Undang-undang Romawi);
3.      Mencantumkan syariat Islam sebagai pembahasan pertama dalam daftar konferensi itu dengan kedudukan sebagai perundang-undangan (Jurisprodensi);
4.      Syariat Islam dapat berkembang;
5.      Mempergunakan bahasa Islam (Arab) pada konferensi berikutnya.
Pada tahun 1948 di Den Haag diselenggarakan Konferensi pengacara-pengacara internasional yang dihadiri oleh 53 negara, dalam konferensi itu dihasilkan suatu rekomendasi supaya syariat Islam dijadikan pelajaran perbandingan hukum.
Di Paris pada tahun 1951 dilangsungkan La Semaine de La Juris­prudence Islamique (Pekan Fiqih Islam). Penyelenggara seminar itu meminta kepada sarjana-sarjana Fiqih Islam untuk mengajukan kertas kerja yang mencakup hal-hal penetapan hak milik, pemilikan oleh negara untuk kepentingan umum, pertanggungjawaban hukum pidana, pengaruh kelompok-kelompok pemikiran (madzhab-madzhab) satu sama lain dan “riba” dalam Islam. Pada hari penutupan seminar itu, ketua seminar yang dipimpin sendiri oleh Ketua Persatuan Pengacara Paris menyatakan: “Saya tidak menyaksikan kebekuan syariat Islam dan Fiqih Islam, sebagaimana yang kami duga selama ini bahwa tidak bisa menjadi dasar perundang-undangan yang berkembang. Apa yang kami dengar selama seminar ini ialah fakta yang membuktikan tanpa diragukan sedikitpun akan kedalarnan, keaslian, ketelitian, banyaknya perincian dalam syariat Islam untuk menampung perkembangan-perkembangan dan kejadian-kejadian baru Pada akhirnya seminar mengambil keputusan bahwa dasar-dasar Fiqih Islam mempunyai nilai perundang-undangan yang tidak dapat disangkal dan perselisihan pendapat para imam madzhab mengandung kekayaan perundang-undangan yang menakjubkan, sehingga dengan demikian Fiqih Islam dapat menampung setiap persoalan hidup”.
Keterangan sebagaimana tersebut di atas dapat dijumpai di dalam buku “Asy-Syari’atu Islamiyah wal Qanunud-Dauliyah“ oleh Prof. Dr. AH Mansur, yang dikutip oleh Dr. H. Hamzah Ya’qub dalam bukunya “Pemurnian “Akidah dan Syariah Islam”  halaman 84.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar