SYARIAH
A. Pengertian
Syariah
Secara etimologis (bahasa), syariah atau
syariat berarti jalan lurus, jalan menuju air, jalan yang dilalui air terjun.
Adapun menurut terminologis (istilah), syariah ialah hukum Islam yang diyakini
kebenarannya oleh umat Islam sebagai ketentuan dan ketetapan dari Allah yang
wajib dipatuhi sebagaimana mestinya. Hal ini difirmankan oleh Allah dalam
Al-Qur’an:
Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) di
atas suatu syariat dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (Q.S.
Al-Jaatsiyah: 18)
Peraturan-peraturan Allah yang terkandung dalam syariat
Islam mengandung disiplin yang menuntun manusia dalam menuju kehidupan bahagia
di dunia dan di akhirat. Manusia diperintahkan untuk mempercayai dan meyakini
kebenaran serta keagungan hukum ciptaan Allah yang tidak ada lagi hukum yang
melebihi dan mengungguli kesempurnaannya. Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an:
Apakah hukum jahiliyah yang
mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum)
Allah bagi orang-orang yang yakin? (Q.S. Al-Maaidah: 50)
Berdasarkan prinsip keyakinan tersebut,
maka setiap muslim wajib melaksanakan syariat Islam dalam segala aspek
kehidupannya dan sebaliknya dia merasa berdosa apabila mengabaikan nilai-nilai
syariat tersebut. Adapun Garis-garis Besar Syariat Islam (GBSI) adalah sebagai
berikut:
1.
Hukum Ibadat, yang merupakan tuntunan ritual
yang mencakup masalah taharah (kebersihan jasmani), salat, zakat, puasa, haji,
penguburan jenazah, kurban, ‘akikah, penyembelihan hewan (dzabihah), makanan
(ath’imah), minuman (asyribah) dan lain-lain.
2.
Hukum Munakahat, yaitu himpunan hukum yang
mengatur masalah kehidupan rumah tangga. Termasuk di dalamnya pembahasan
pernikahan, hubungan suami-istri, talak, rujuk, iddah, perwalian dalam nikah,
pembagian harta pusaka, penyusuan, pemeliharaan anak, dan lain-lain yang
berhubungan dengan masalah rumah tangga.
3.
Hukum Muamalat, yaitu membahas kode etik bisnis,
utang-piutang, jual-beli dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah hubungan
manusia dengan kekayaan dan harta benda. Termasuk mengatur hubungan kekayaan
masyarakat dengan negara yang meliputi masalah Baitul Mal dan hal-hal lain yang
berkaitan dengannya.
4.
Hukum Jinayat, yaitu hukum pidana dan perdata
yang disyariatkan untuk memelihara kehidupan manusia, melindungi ketenteraman
masyarakat, melindungi harta benda yang menjadi hak seseorang, memelihara
keturunan, akal jiwa dan agama. Hubungan ini meliputi masalah qishas, tazir,
perampokan dan sebagainya.
5.
Hukum Murafa’at Mukhashamat, yaitu hukum
acara pidana dan perdata yang mencakup prosedur pengadilan di depan hakim
antara lain: syarat-syarat hakim, dakwaan, gugatan, pembuktian, persaksian,
sumpah dan lain-lain.
6.
Hukum Sulthaniyat, yaitu suatu
komponen hukum Islam yang khusus mengatur masalah-masalah kenegaraan dan
pemerintahan.
7.
Hukum Dauliyat, yaitu hukum internasional yang
berguna untuk mengatur hubungan antara negara dengan negara, baik pada masa
damai maupun pada masa perang, mengatur soal tawanan perang, gencatan senjata,
suaka politik dan perjanjian antar negara.
Berdasarkan pembagian lapangan
pembahasan syariat tersebut, syariat Islam tampak sangat komprehensif, dimulai
dari mengatur hidup pribadi sampai hidup bermasyarakat juga berskala regional,
nasional maupun internasional yang meliputi hubungan vertikal, yaitu hubungan
antara manusia dengan Tuhannya/Allah (Hablumminallaah) dan hubungan horizontal
yaitu hubungan antar sesama manusia lainnya (Hablumminannaas).
B. Asas-asas
Syariat Islam Dalam Menetapkan Hukum
Asas-asas syariat Islam dalam menetapkan hukum, dapat
disimpulkan sebagaimana tertera di bawah ini:
1.
Tidak menyempitkan para mukalaf (orang akil balig yang
telah dibebani hukum), sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
Dan sekali-kali tidaklah Allah
menjadikan suatu kesempitan padamu dalam beragama. (Q.S. Al-Hajj:
78)
Dan dalam surat serta ayat yang lain, Allah Swt. berfirman:
Allah berkehendak memberikan
kemudahan kepadamu dan la tidak menghendaki kesukaran kepadamu. (Q.S.
Al-Baqarah: 185)
Kedua ayat tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.:
Sesungguhnya agama itu adalah mudah. (H.R. Bukhari
dari Abu Hurairah)
2.
Tidak memberatkan; yakni dalam menetapkan hukum
senantiasa sesuai dengan kesanggupan manusia untuk melaksanakannya.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
Allah tidak membebani seseorang
kecuali sesuai dengan kesanggupannya. (Q.S. Al-Baqarah: 286).
Rasulullah Saw. bersabda:
Apa-apa yang telah kularang
kepadamu tentang sesuatu, maka, jauhilah dan apa-apa yang telah kuperintahkan
kepadamu tentang sesuatu itu. maka kerjakanlah olehmu menurut kadur
kesanggupanmu. (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Para sarjana hukum Islam (Fuqaha) telah
mengadakan penelitian dan menemukan jawaban bahwa dalam menetapkan hukum
syariat Islam dapat terjangkau oleh setiap manusia (mukalaf) dalam situasi dan kondisi bagaimanapun.
Hasil-hasil penelitian mereka itu dapat
penulis ungkapkan berikut ini:
a.
Menggugurkan ibadah jika ada halangan. Misalnya tidak wajib
melakukan ibadah haji apabila keamanannya tidak terjamin.
b.
Mengurangi kadar amalan ibadah yang telah ditetapkan.
Misalnya mengqasar salat bagi orang yang bepergian setelah memenuhi
syarat-syarat tertentu. dari empat rakaat menjadi dua rakaat.
c.
Mengganti sesuatu ibadah yang tidak mungkin dilaksanakan,
dengan bentuk yang lain. Misalnya wudu diganti dengan tayamum.
d.
Memajukan atau memundurkan waktu yang telah ditetapkan. Misalnya
salat jama Taqdim dan jama Ta’khir.
e.
Memberikan kesempatan untuk melakukan ibadah pada waktu
lain. Misalnya puasa Ramadhan yang dilaksanakan bukan pada bulan Ramadhan bagi
yang sakit atau musafir.
f.
Mengubah sifat atau kaifiyat mengerjakan suatu ibadah. Misalnya
salat Khauf yaitu salat yang dikerjakan dalam keadaan tidak aman atau dalam
keadaan bahaya.
Untuk memperjelas salat Khauf, penulis
uraikan berikut ini:
- Musuh berada di arah kiblat.
Jika musuh berada di arah kiblat, imam
mengatur pasukannya yang akan mendirikan salat menjadi dua saf. Imam
bertakbiratul ihram dan diikuti oleh makmum. Setelah membaca bacaan yang harus
dibaca dalam salat itu, imam ruku dan diikuti oleh makmum. Jika imam sujud,
maka makmum pada saf kedua tetap berdiri untuk menjaga bahaya. Setelah selesai
dua sujud, imam dan makmum pada saf pertama bangkit (berdiri) untuk mengerjakan
rakaat kedua, barulah makmum pada saf kedua sujud dua kali tanpa mengikuti imam
sampai bangkit (berdiri). Pada waktu itu saf pertama mundur menjadi saf kedua
dan saf kedua maju menjadi saf pertama. Imam membaca bacaan salat yang harus
dibaca kemudian ruku, diikuti oleh seluruh makmum. Imam bangkit dari ruku, dan
diikuti oleh seluruh makmum. Imam sujud bersama dengan makmum pada saf pertama,
sedang saf kedua tetap berdiri menjaga bahaya. Setelah imam dan saf pertama
sujud dua kali hingga duduk untuk tasyahud, barulah makmum pada saf kedua sujud
dua kali sampai tasyahud. Imam menanti sampai seluruh jamaah menyelesaikan
tasyahud kemudian baru salam bersama-sama dengan seluruh makmum.
Salat Khauf
semacam ini pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw. dalam peperangan Ushfan dan
cara mengerjakannya sebagaimana keterangan di atas tadi.
2. Musuh berada di
luar arah kiblat.
Jika musuh berada di luar arah kiblat,
maka imam membagi makmum menjadi dua saf. Sebagian menjaga musuh dan sebagian
yang lain berdiri di belakang imam. Imam lalu mulai salat satu rakaat bersama
dengan makmum pada saf yang berdiri di belakangnya. Setelah imam berdiri untuk
rakaat kedua, saf yang berada di belakang imam itu menyelesaikan salatnya
sendiri sampai salam dengan tidak mengikuti imam. Setelah salam, lalu mereka
pergi untuk menjaga musuh. Dan saf penjaga pertama, salat mengikuti imam yang
selama itu menanti dengan berdiri. Kemudian imam bersama-sama makmum pada saf
itu menyelesaikan salatnya hingga tasyahud akhir. Dikala imam duduk untuk
tasyahud akhir, mereka yang baru salat satu rakaat meneruskan salatnya
masing-masing untuk rakaat kedua, sedangkan imam duduk tasyahud akhir menunggu
mereka selesai, apabila mereka telah selesai membaca tasyahud, imam memberi
salam lalu diikuti oleh mereka.
Salat Khauf
dengan cara tersebut, telah diatur dan dilakukan oleh Rasulullah Saw. bersama
para sahabat beliau di medan perang yang terkenal dengan perang “Dzatur-Riqa”
.
Apabila keadaan
sudah sangat genting sehingga untuk membagi tentara berbaris-baris itu tidak
mungkin lagi dijalankan, karena banyaknya musuh yang menyerangnya atau
pertempuran sedang berkobar, atau orang yang berkendaraan tidak dapat turun
lagi dari kendaraannya, begitu pula orang yang berjalan kaki sudah tidak dapat
berpaling ke kiri atau ke kanan, maka ketika keadaan sudah sedemikian rupa,
masing-masing dari balatentara boleh salat sendiri-sendiri menghadap kiblat
atau tidak menghadap kiblat, sambil berjalan kaki atau berkendaraan.
Singkatnya, boleh salat menurut kemampuan masing-masing karena salat itu tidak
boleh ditinggalkan dan melawan musuh untuk membela diripun tidak boleh
diabaikan.
g.
Membolehkan sesuatu yang semula dilarang. Misalnya
memakan barang haram karena terpaksa.
h.
Memaafkan pelanggaran karena lupa. Misalnya makan atau
minum di siang hari pada bulan Ramadhan. Bagian semacam ini dikalangan Fuqaha
(Para Sarjana Hukum Islam) terkenal dengan istilah :
TAQLILUT - TAKLIF (mengurangi beban)
i.
Mewujudkan hukum dengan cara berangsur-angsur, dengan
mempertimbangkan kondisi masyarakat. Misalnya hukum minum khamr (minuman
keras). Sebagaimana telah dinyatakan oleh Allah dalam Al-Qur’an:
-
Tahap pertama: Tentang larangan
minum khamr:
Mereka bertanya kepadamu tentang
khamr dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, akan tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya”.
(Q.S. Al-Baqarah: 219)
-
Tahap kedua:
Hai orang-orang yang beriman janganlah
kamu mengerjakan salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan. (Q.S. An-Nisaa: 43)
-
Tahap terakhir, Allah menegaskan
keharamannya:
Hai orang-orang beriman,
sesungguhnya minuman khamr, berjudi, kurban untuk berhala, mengundi nasib
dengan anak panah adalah perbuatan setan. Maka tinggalkanlah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Al-Maaidah: 90).
Penetapan hukum seperti di atas tadi,
oleh Fuqaha (Para Sarjana Hukum Islam) diistilahkan dengan:
AT-TADRIJ FIT-TASYRI’ (bertahap dalam
menetapkan hukum).
C. Penilaian Dunia
Internasional Terhadap Syariat Islam
Konferensi Perbandingan Hukum Internasional (Comperative
International Laws) di Den Haag pada bulan Agustus 1932 telah membahas sejumlah
hukum, termasuk hukum Islam. Prof. Lanvier dalam kesempatan itu menyatakan
penghargaannya terhadap syariat Islam dan para peserta konferensi menaruh
perhatian yang serius tentang syariat Islam dan merasa perlu untuk membahas
lebih jauh pada pertemuan yang lain.
Pada bulan Agustus 1937, konferensi itu
diteruskan lagi. Dalam pertemuan itu dua orang sarjana Islam masing-masing
Prof. Dr. Mahmud Syaltut dan Prof. Dr. Abdurrahman Taj, keduanya berasal dari
Universitas Al-Azhar Mesir mengajukan pandangannya, masing-masing dengan judul “Pertanggungjawaban
Hukum Pidana dan Sipil dalam Islam “ dan “Hubungan Undang-undang Romawi
dengan Syariat Islam“.
Konferensi tersebut memutuskan:
1. Syariat Islam
sebagai salah satu sumber perundang-undangan hukum;
2.
Syariat Islam berdiri sendiri, bukan diambil dari
perundang-undangan yang lainnya (maksudnya Undang-undang Romawi);
3.
Mencantumkan syariat Islam sebagai pembahasan pertama
dalam daftar konferensi itu dengan kedudukan sebagai perundang-undangan
(Jurisprodensi);
4.
Syariat Islam dapat berkembang;
5.
Mempergunakan bahasa Islam (Arab) pada konferensi
berikutnya.
Pada tahun 1948
di Den Haag diselenggarakan Konferensi pengacara-pengacara internasional yang
dihadiri oleh 53 negara, dalam konferensi itu dihasilkan suatu rekomendasi
supaya syariat Islam dijadikan pelajaran perbandingan hukum.
Di Paris pada
tahun 1951 dilangsungkan La Semaine de La Jurisprudence Islamique (Pekan Fiqih
Islam). Penyelenggara seminar itu meminta kepada sarjana-sarjana Fiqih Islam
untuk mengajukan kertas kerja yang mencakup hal-hal penetapan hak milik,
pemilikan oleh negara untuk kepentingan umum, pertanggungjawaban hukum pidana,
pengaruh kelompok-kelompok pemikiran (madzhab-madzhab) satu sama lain dan “riba”
dalam Islam. Pada hari penutupan seminar itu, ketua seminar yang dipimpin
sendiri oleh Ketua Persatuan Pengacara Paris menyatakan: “Saya tidak
menyaksikan kebekuan syariat Islam dan Fiqih Islam, sebagaimana yang kami duga
selama ini bahwa tidak bisa menjadi dasar perundang-undangan yang berkembang.
Apa yang kami dengar selama seminar ini ialah fakta yang membuktikan tanpa
diragukan sedikitpun akan kedalarnan, keaslian, ketelitian, banyaknya perincian
dalam syariat Islam untuk menampung perkembangan-perkembangan dan
kejadian-kejadian baru Pada akhirnya seminar mengambil keputusan bahwa
dasar-dasar Fiqih Islam mempunyai nilai perundang-undangan yang tidak dapat
disangkal dan perselisihan pendapat para imam madzhab mengandung kekayaan
perundang-undangan yang menakjubkan, sehingga dengan demikian Fiqih Islam dapat
menampung setiap persoalan hidup”.
Keterangan
sebagaimana tersebut di atas dapat dijumpai di dalam buku “Asy-Syari’atu
Islamiyah wal Qanunud-Dauliyah“ oleh Prof. Dr. AH Mansur, yang dikutip oleh
Dr. H. Hamzah Ya’qub dalam bukunya “Pemurnian “Akidah dan Syariah Islam” halaman 84.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar